Sabtu, 19 Maret 2011

Revolusi Pendidikan

Pendidikan merupakan tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Itu berarti kalau pendidikannya maju, negara tersebut pun akan maju. Sebaliknya, jika pendidikannya mundur dan tidak berkembang, maka negara tersebut pun akan susah untuk berkembang. Tidak usah jauh-jauh, Singapura dan Malaysia-negara tetangga kita-misalnya, mengalami kemajuan yang demikian pesat karena pendidikan diprioritaskan dalam anggaran pembanguna mereka. Padahal, jika dibandingkan dengan Malaysia sekitar 20 tahun yang lalu, kondisinya memang amat berbeda kini. Kala itu mereka mendatangkan para pengajar dan guru dari Indonesia.

Ada apa dengan pembangunan pendidikan kita? Harus diakui bahwa berbagai usaha sudah dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan kita, seperti memperbaharui kurikulum, menetapkan anggaran untuk pendidikan dari APBN, merekrut guru-guru dengan ujian PNS, bahkan meningkatkan (baca: menaikkan) standard kelulusan. Hanya, kalau kita lihat kenyataannya, hampir semua kegiatan tersebut tidak mengubah apa-apa. Kualitas atau mutu pendidikan kita tidak berubah banyak bahkan sepertinya mengalami kemunduran. 

Mari kita lihat contoh nyatanya. UN untuk SMU/Sederajat dan SMP/Sederajat yang dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia setiap tahunnya sudah lama berakhir. Standard untuk UN tahun 2007 misalnya dinaikkan menjadi 5,0 dengan harapan kualitas para lulusan juga semakin tinggi dan dapat bersaing. Sebelum pelaksanaan UN, Mendiknas Bapak Bambang Sudibyo menjamin bahwa tidak akan ada kecurangan dalam pelaksanaan UN ini karena sudah dibuat pemeriksaan yang ketat dan pengaman yang berlapis. 

Namun, harapan sepertinya tinggal harapan! Harapan Pemerintah Pusat  untuk meningkatkan kualitas lulusan sepertinya tidak ditangkap dengan positif oleh Diknas daerah dan seluruh jajarannya termasuk Kepala Sekolah, guru-guru dan siswa. Mereka hanya berpikir bagaimana supaya para siswa bisa lulus—yang penting lulus—tidak peduli langkah apapun yang harus ditempuh. Maka terjadilah permainan di level sekolah. Pihak sekolah berusaha melakukan “berbagai cara” agar para siswa lulus dari standard, tanpa menimbang lagi apakah hal tersebut meningkatkan kualitas siswa atau malah sebaliknya membodohi siswa. Pada kenyataanya, dengan model UN sekarang, kita tidak mengetahui lagi mana siswa yang memang pintar/yang layak lulus dan mana siswa yang tidak layak lulus.
  
Itu baru soal penyelenggaraan. Kalau menilik model soal ujian, masalah pun sama saja. Setelah mengadakan penelitian terhadap materi soal UN, AGMI (Asosiasi Guru Matematika Indonesia) mengambil kesimpulan  bahwa ujian nasional dianggap kurang layak dijadikan indikator peningkatan mutu pendidikan. (Kompas 28/4-2007).

Kecurangan dalam UN yang kemudian terungkap kepada publik semisal pemberian kunci jawaban secara langsung kepada siswa baik melalui SMS, dibacakan dan ditempelkan di papan tulis bahkan pencurian soal serta kecurangan-kecurangan lainnya merupakan bukti bahwa keinginan untuk meningkatkan kualitas kelulusan masih jauh panggang dari api. Hal ini bisa disebabkan terlalu jauhnya jarak antara Proses Belajar Mengajar dengan standard yang diharapkan. Proses belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah masih di ”bumi” tetapi standard yang diharapkan pemerintah dalam UN terlalu ”melangit”, sehingga dengan kualitas siswa yang ada saat ini sangat mengkuatirkan para penyelenggara pendidikan sendiri. Maka dengan sangat “terpaksa” pihak sekolah sendiri, ”mengorganisir” kecurangan itu dengan menghalalkan segala cara tersebut, demi sebuah prestise dan melupakan prestasi dan kualitas.

 Pendidikan di Indonesia juga masih rentan dengan kekerasan, pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia telah dibuat menjadi ajang kekerasan. Tentu masih jelas dalam ingatan kita apa yang terjadi di IPDN. Kampus tempat pendidikan itu telah mengambil banyak korban jiwa. Bahkan sering juga kita dengar para guru melakukan kekerasan dengan menganiaya siswanya. Dan yang paling mencengangkan lagi adalah ada beberapa siswa yang melakukan kekerasan terhadap guru. Guru yang seharusnya ditiru dan didengarkan malah dianiaya karena para guru tersebut melakukan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di Jogja misalnya, karena dianggap mengawas terlalu ketat pada saat UN para siswa mengurung pengawas tersebut di ruang kelas. Bahkan di Medan, para guru yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru—yang membongkar kecurangan yang terjadi pada UN di Medan—waktu itu sempat mendapat ancaman dari siswa yang takut tidak lulus UN. 

Komersialisme dan saratnya kepentingan dalam pendidikan menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan kita saat ini. Pendidikan adalah sebuah proyek yang ”bergelimang” uang. Demi itu, penyelenggaraan pendidikan yang tidak jelas tujuannya bahkan tidak bermakna apa-apa dalam peningkatan mutu pendidikan pun tega dilakukan.  

Keseriusan Pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan sekarang ini sedang dipertanyakan. Alokasi dana dari APBN sebesar 20% tidak kunjung terealisasikan, bahkan dalam APBN 2008 pun. Mungkin di seluruh daerah di Indonesia tidak ada yang mengalokasikan dana untuk pendidikan sebesar 20% dari APBD. Sebagai contoh Pemkot Medan hanya mengalokasikan dana sebesar 8% dari total anggaran dalam APBD untuk pendidikan. Bukannya melakukan koreksi, pemerintah bahkan direncakan sedang berupaya melakukan revisi terhadap UU Sisdiknas agar pembiayaan pendidikan menyertakan penggajian guru.  

Kurikulum yang ada sekarang tidak ditunjang dengan kualitas sarana dan prasarana yang ada. Bahkan masih banyak gedung sekolah yang sebenarnya tidak layak lagi tetapi masih digunakan karena tidak kunjung diperbaiki. Sanking tidak layaknya, para guru pada perayaan Hari Guru tahun lalu menyebut gedung sekolah tersebut tidak ubahnya seperti “kandang ayam”. Ironis memang. Bagaimana mungkin dengan sarana dan prasarana yang sangat minim bisa menghasilkan siswa dengan kualitas tinggi. 

Sudah saatnya kita mengevaluasi kembali sistem pendidikan nasional kita dan semua aspek yang mendukungnya. Pendidikan kita harus dikembalikan ke hakikatnya yang semula yaitu memanusiakan manusia, ke tujuannya yang semula yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Bila perlu harus diadakan perubahan total dalam sistem pendidikan kita, pendidikan yang sejatinya dilaksanakan untuk mencerdaskan bukan demi kepentingan, bukan untuk komersialisasi dan juga bukan dengan setengah hati. Atas dasar itulah, maka revolusi pendidikan adalah sebuah keniscayaan.

Tidak ada komentar: