Jumat, 25 Maret 2011

Perjuangan kita belum selesai

Kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan membuat kita gelisah dan tertantang untuk bertindak melakukan perbaikan dan pemulihan di berbagai bidang. Maka mengambil bagian dalam memperbaiki pendidikan adalah sebuah keistimewaan karena di dalam pendidikan ada pembentukan pribadi yang utuh dari seorang manusia yang kelak hadir menjadi garam dan terang di berbagai aspek kehidupan di bangsa kita.
Melihat keadaan tersebut, Komunitas Air mata Guru terpanggil dengan tekad untuk membangun pendidikan yang berkualitas dan berhati nurani. Sejak tahun 2007 hingga sekarang, KAMG telah mengukir sejarah dengan membongkar kebusukan pendidikan yang telah terjadi selama bertahun-tahun dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Ujian nasional yang digadang-gadang akan meningkatkan kualitas pendidikan, ternyata sarat dengan kecurangan dan kebohongan.
Prestasi (lulus UN diatas 98%) yang selama ini dibangga-banggakan Pemerintah, ternyata penuh dengan kebohongan. Mayoritas siswa bisa lulus karena pada saat ujian mendapat bantuan dengan berbagai macam modus dan strategi. Mulai dari memberi jawaban sebelum atau ketika Ujian, memperbaiki lembar jawaban siswa, dan berbagai macam modus lainnya. Yang lebih menyedihkan lagi adalah demi kelulusan yang mendekati 100% tersebut, soal ujian yang merupakan rahasia Negara pun dibocorkan. Salah satunya seperti yang ditemukan oleh KAMG baru-baru ini.
Sebelum UN SMA/sederajat berlangsung, KAMG berhasil membongkar terjadinya kebocoran soal UN. Dari data yang didapatkan bahwa kunci jawaban dari soal-soal tersebut telah diperjual-belikan dan disebar-luaskan kepada para siswa. Ironis sekali bukan, prestasi yang dibangga-banggakan tersebut, ternyata dihasilkan dari berbagai kecurangan.
Banyaknya kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional, telah menjadi perhatian nasional. Namun sayang, pemerintah sama sekali tidak peduli dengan keadaan itu dan tetap memaksakan dilaksanakannya UN. Pemerintah kita ternyata hanya berorientasi pada prestasi yang fiktif dan menutup mata dengan semua kecurangan demi kecurangan tersebut. Bahkan hingga sekarang, pemerintah seakan dingin menanggapi bukti terjadinya kebocoran soal yang terjadi di berbagai daerah tersebut. Menjawab semua kecurangan itu, M. Nuh (Mendiknas) malah mengatakan bahwa tahun depan UN akan tetap diadakan.
Itulah ironi di tengah pendidikan kita saat ini. Pertanyaannya adalah apakah kita akan membiarkan keadaan itu, membiarkan prestasi pendidikan kita ternyata digapai dengan sebuah kebohongan? Membiarkan karakter dan moral calon pendidik bangsa (anak didik) dan guru dirusak karena kebijakan Ujian Nasional?
Sebagai orang yang sudah dipanggil dan mencintai pendidikan kita, kita tentu saja tidak mau membiarkan hal itu terus terjadi. Kita harus mendesak pemerintah agar mengevaluasi jajarannya mengapa soal UN yang merupakan dokumen Negara begitu mudahnya dibocorkan dan diperjual belikan. Kita juga harus mendesak Pemerintah (Mendiknas) agar mengevaluasi dan meniadakan kebijakan Ujian Nasional sebagai single score. Sebab UN sebagai penentu kelulusan itulah yang membuat sekolah dan siswa terpaksa melakukan kecurangan. Sebab kalau tidak curang, lulus UN hanyalah mimpi.
Untuk mencapai mimpi besar bagi perbaikan pendidikan kita,  kita harus dan terus bersama-sama berjuang, bergerak bersama menyuarakan kebusukan ini kepada pemerintah dengan mendorong DPRD ikut menyampaikan aspirasi kita membangun pendidikan dan berharap kepolisian tetap pada komitmennya untuk mengusut tuntas kasus ini sampai ke akar-akarnya. Sebagai mahasiswa, mari merapatkan barisan untuk mengkritisi kebijakan UN dan bersuara “TOLAK UJIAN NASIONAL”

SELAMAT BERJUANG BAGI BANGSA KITA……..!!!!
SALAM KEBENARAN……………………………….!!!!

Mengungkap Kebenaran Dengan Air Mata

PENGANTAR

Mengungkap Kebenaran Dengan Air Mata

            Ujian nasional berlalu sudah. Namun bekasnya masih terasa. Sisa itu, sayangnya adalah kepedihan. Sebab setelah beberapa hari berlalu satu demi satu pengakuan hadir silih berganti. Ujian Nasional ternyata dilaksanakan amat jauh dari maksud semula. Bukan hanya terjadi pada Ujian Nasional tahun ini saja. Rasa pedih, kecewa dan marah menjadi satu. Karakter dan harga diri memudar perlahan namun pasti.
            Maka apa boleh buat, meski menerjang badai, Komunitas Air Mata Guru kemudian berbicara kepada public. Fakta yang sebenarnya mengenai bagaimana Ujian Nasional diselenggarakan harus diketahui oleh publik. Bahwa Ujian Nasional telah menjadi panggung sandiwara dimana para pendidik telah bersekutu menyelamatkan muka mereka sendiri atas nama upaya meluluskan para siswa. Namun selayaknya sebuah niat, hal itu dating dari keinginan untuk mensukseskan niatan memenuhi standar kelulusan 5,50 di tahun 2009 ini.
            Apa boleh buat juga, bahwa Komunitas Air Mata Guru harus terus menangis. Ungkapan kecurangan yang datang hari demi hari dari para guru, siswa dan bahkan Kepala Sekolah menjadi sebuah bukti bahwa Ujian Naional bukan hanya sebuah sandiwara belaka, tetapi telah dimanfaatkan untuk berbagai macam kepentingan.
            Publik boleh menuding dengan bebas siapa saja yang terlibat di dalam masalah ini. Tetapi Komunitas Air Mata Guru hanyalah mengumpulkan fakta yang seharusnya dimiliki dan diketahui oleh para pelaksananya atau penanggung-jawab Ujian Nasional ini. Maka Komunitas Air Mata Guru mengambil peran dan posisi. Menjadi pengungkap kebenaran walau masih dengan air mata dan kesedihan mendalam. Belajar melalui pengalaman tahun-tahun yang lalu maka Komunitas Air Mata Guru membentuk Tim Investigasi Ujian Nasional 2009, dengan harapan dapat mengumpulkan fakta dilapangan yang akurat dan terpercaya.
            Laporan ini adalah sebuah laporan sementara yang ditulis dengan air mata. Kita patut sedih karena generasi mendatang telah menjadi ekperimen kepentingan. Pasti masih banyak lagi laporan yang akan diterima, dan laporan ini masih akan terus dilengkapi. Biarlah waktu yang akan mencatat apakah kita semua belajar atau tidak dari setiap fakta.




Komunitas Air Mata Guru
Mei 2009


PRESS RELEASE KOMUNITAS AIR MATA GURU Kamis, 9 MEI 2008 Medan

Ujian Nasional untuk SMA dan SMP Tahun ajaran 2008/2009 baru saja selesai, ditengah pro dan kontra Ujian Nasional tersebut Komunitas Air Mata Guru (KAMG) menemukan adanya indikasi kecurangan dan berbagai bentuk pelanggaran POS (Prosedur Operasional Standar) yang terjadi di Sumatera Utara.
Di berbagai daerah di Sumatera Utara masih terjadi  kasus-kasus di mana Kepala sekolah dan guru-guru secara aktif membantu siswa yang sedang ujian dengan membacakan jawaban UN di depan kelas, menuliskan jawaban UN di papan tulis, membiarkan siswa bekerja sama dalam ruang ujian, membiarkan siswa mendapatkan bantuan dari luar, bahkan memperbaiki LJUN di sekolah dan pembatalkan SK guru pengawas yang mempunyai sikap tegas menolak praktek kecurangan. Kasus-kasus kecurangan yang berat terjadi antara lain di: Humbahas, P. Siantar, Binjai, Tobasa, Samosir, Deli Serdang, dan Simalungun.
Laporan ini didasarkan pada  data yang didapat dari guru-guru pengawas yang menyaksikan secara langsung kecurangan Ujian Nasional dan pelanggaran POS. Disamping itu terdapat juga data yang berasal dari investigasi dan observasi yang dilakukan Tim Komunitas Air Mata Guru yang turun disekitar lokasi pelaksanaan Ujian Nasional.
Dari data yang  terangkum kami menemukan 17 lokasi terjadinya kecurangan Ujian Nasional dan pelanggaran POS. Lokasi itu antara lain berada di Medan, yaitu: SMA Negeri 1 Medan, SMA Methodist 1, SMA Al-Fatah Medan, SMA Tri Murni, SMA Ksatria Medan, SMPN 22 Medan, SMP Parulian 3 Medan. Di Deli Serdang yaitu SMP Tunas Karya Batang Kuis. Di Pematang Siantar yaitu: SMA keluarga Siantar, SMA Mars, SMA Swasta Taman Siswa, SMA Swasta Trisakti, di Binjai yaitu: SMA Negeri 4. Di Humbang Hasundutan yaitu SMKN 2 Dolok Sanggul, SMK Trisula Dolok Sanggul. Di daerah Tobasa antara lain SMAN 1 Laguboti. Di Samosir SMKN1 Palipi.
Selain data di atas Tim Investigasi KAMG juga menemukan dibeberapa sekolah seperti SMA Negeri 1 Medan, SMP Sutomo 1 Medan, SMPN 1 Medan, SMPN 15 Medan. Sebelum UN berlangsung (antara jam 06.15 s/d 07.30) para siswa memindahkan kunci jawaban dari HP mereka ke secarik kertas kecil, dan ini terjadi di kantin luar sekolah  bahkan ada yang terjadi di dalam sekolah.
Kondisi diatas adalah potret buram dunia pendidikan kita. Di satu sisi komunitas pendidikan (Sekolah, Guru dan Siswa)  yang terlibat pelanggaran pos dan kecurangan UN sangat tidak bisa dibenarkan, disisi lain jika kita ingin jujur bersama ini adalah bentuk pemberontakan terselubung terhadap kebijakan pelaksanaan UN.
Pemberontakan ini adalah muara dari rasa frustasi dan depresi komunitas pendidikan (Sekolah, Guru dan Siswa) terhadap kebijakan UN dengan sistem single score dan high stakes examination, yang menjadikan wajib lulus adalah kemutlakan untuk mendapatkan selembar ijazah.
Laporan ini mestinya menjadi catatan pedas bagi pemerintahan SBY – JK agar bisa mengevaluasi UN yang akan bermuara kepada peniadaan UN dikemudian hari. UN ini haruslah juga menjadi uji kejujuran bagi pemerintah bahwasannya UN tidak dapat dilaksanakan karena ketidaksiapan insan pendidikan Indonesia. Karna jelas, pemerintah belum memenuhi amanat undang-undang SISDIKNAS no. 20 tahun 2003 dan PP no. 19 tahun 2005, tentang  tujuh Standar Nasional Pendidikan. Dimana pemerintah belum mampu memenuhi standar pendidikan itu yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar sarana prasarana dan standar pembiayaan dan standar pengelolaan. Oleh karena itu Ujian Nasional sebagai standar penilaian pendidikan belum bisa dilaksanakan sampai standar tersebut dapat dipenuhi pemerintah.   
Pemberontakan/perlawanan terselubung atau secara diam–diam telah dilakukan komunitas pendidikan (Sekolah, Guru dan Siswa), yaitu berupa kecurangan dan pelanggaran POS yang hampir setiap tahunnya terjadi.
Jikalau pemberontakan terselubung ini tidak diindahkan revolusi adalah keniscayaan.

Atas Nama Komunitas Air Mata Guru



Januar Pasaribu, S.Pd.
Direktur Eksekutif

AKTIVITAS SEMINAR DAN DISKUSI YANG PERNAH DIKELOLA KOMUNITAS AIR MATA GURU

1.      Seminar Pendidikan dengan tema “UU Sisdiknas, Kompleksitas UN dan Solusinya”, yang diadakan di Serbaguna FT UNIMED, 17 Mei 2007. Tampil sebagai Narsumber adalah
a.       Parlindungan Purba, SH. (anggota DPD-RI Perwakilan SUMUT)
b.       Prof. Dr. Belferik Manullang (Direktur Pasca Sarjana UNIMED)
c.       Dr. Matsyuhito Solin, M.Pd. (Ketua Dewan Pendidikan Medan)
Seminar ini dimoderatori oleh Ibu Resita Lubis dan Ibu Lestari sebagai Notulen (Keduanya Pengurus KAMG). Kegiatan ini dihadiri sebanyak sekitar 200 orang yang terdiri dari guru-guru, Orang tua, Akademisi, LSM, Mahasiswa, serta dari kalangan Pers.







Gbr. 1.1. Parlindungan Purba, SH memberikan penjelasan tentang UU Sisdiknas, dan Kompleksitas Ujian Nasional.
Gbr. 1.2. Dr. Matsyuhito Solin, M.Pd, memberikan penjelasannya tentang UU Sisdiknas, dan Kompleksitas Ujian Nasional.








Gbr.1.3. Salah seorang peserta memberi tanggapan dan pandangannya tentang Ujian Nasional.



2.      Diskusi Berjudul “Menyikapi Rekomendasi Pembebas Tugasan Kadinas Pendidikan Kota Medan oleh Mendiknas sebagai Respon Terhadap Laporan Kecurangan UN KAMG”, diadakan di kantor Kompas perwakilan Medan pada tanggal 2 Juli 2007.
Narasumber :
  1. Soaliau Fau (Anggota Komisi E DPRD SU, Fraksi Demokrat)
  2. Valentino Tarigan (Ketua Yayasan Perguruan Nasrani)
  3. Dr. Matsyuhito Solin (Ketuda Dewan Pendidikan Medan)
  4. Isfan, MM (Anggota Komisi E DPRD SU, Fraksi PAN)
Diskusi ini dimoderatori oleh Denni Boy Saragih, SKM, M.Div. (Koordinator KAMG).









Gbr.2.1.  Para Narasumber serius mendengar salah seorang peserta menyatakan pandangannya terhadap Rekomendasi Mendiknas sebagai respon atas kecurangan Ujian Nasional yang terjadi di Medan.


Gbr.2.2. Valentino Tarigan memberikan penjelasan atas kecurangan Ujian Nasional yang terjadi di Medan












3.      Mengadakan bedah buku yang berjudul: Menggugat Ujian Nasional, Memperbaiki Kualitas Pendidikan, yang diterbitkan oleh Education Forum. Kegiatan ini diadakan di Kantor Kompas Perwakilan Medan, pada tanggal 7 Oktober 2007. Tampil sebagai Narasumber pada bedah buku ini adalah :
a.       Dr. Matsyuhito Solin, M.Pd. (Ketua Dewan Pendidikan Medan),
b.       Jamhur (Anggota Komisi B DPRD Medan),
c.       Denni Boy Saragih (Dewan Pembina KAMG),
Bedah buku ini dimoderatori oleh Andy (Wartawan Harian Kompas). Bedah buku ini dihadiri oleh guru-guru Perwakilan KAMG, Perwakilan PGRI-SU, Perwakilan PGSI-Medan, LSM, Akademisi, Anggota DPD-RI Utusan Sumut, Perwakilan LBH, serta para Mahasiswa.

Gbr.3.1. Dr. Matsyuhito Solin, M.Pd, memberikan tanggapannya tentang buku yang berjudul “Menggugat Ujian Nasional, Memperbaiki Kualitas Pendidikan”.





Gbr. 3.2. Bapak Parlindungan Purba (Anggota DPD-RI Utusan SUMUT), memberikan pandangannya tentang Ujian Nasional.

Gbr.3.3. Bapak F.J.Pinem (Ketua PGRI-SUMUT), memberikan pandangannya tentang Ujian Nasional, sekaligus menyatakan sikap PGRI terhadap Ujian Nasional.

Gbr. 3.4. Bapak P. Silitonga (Ketua PGSI-Medan) menyatakan pandangannya tentang Ujian Nasional, sekaligus menyatakan sikap PGSI yang menentang Ujian Nasional.

Mendesak, Revisi UU Sisdiknas

Kompas, 16 Agustus
Darmaningtyas

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang proses penyusunannya menimbulkan kegaduhan antara pro dan kontra, ternyata implementasinya melahirkan sejumlah masalah krusial.
Oleh karena itu, menjadi amat mendesak bagi UU ini untuk direvisi oleh anggota DPR periode 2009-2014. Beberapa persoalan krusial yang sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar untuk merevisi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) antara lain sebagai berikut.
Pertama, pembatalan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. UU BHP adalah amanat dari UU Sisdiknas Pasal 53 agar penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dengan dibatalkannya UU BHP, Pasal 53 ini tidak bermakna lagi; jika tidak direvisi, hanya menjadi pasal sampah belaka.
Kedua, masalah krusial yang selalu muncul setiap tahun dan menghabiskan energi adalah ujian nasional (UN). UN sebetulnya tidak punya pijakan yang jelas dalam UU Sisdiknas karena Pasal 57-59 hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan, yang implementasinya tidak tentu berupa UN.
Namun, oleh pemerintah diturunkan terlalu jauh dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mengamanatkan UN dari SD hingga SMTA. PP No 19/2005 itulah yang dijadikan pedoman oleh pemerintah untuk melaksanakan UN. Tetapi, apabila dirunut pasalnya dalam UU Sisdiknas, memang tidak ada.
Pasal 57-59 yang mengatur masalah evaluasi pendidikan saatnya direvisi agar lebih tegas dan tidak multitafsir. Sebetulnya bunyi pasal itu sudah tegas, tetapi entah bagaimana pemerintah dapat menafsirkan beda dengan tafsiran masyarakat.
Dalam ketiga pasal tersebut tidak ada yang mengindikasikan pelaksanaan UN. Bahkan, kalau membaca Pasal 59 Ayat 3 jelas sekali bahwa ”Masyarakat dan/ atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi hasil belajar”. Itu artinya evaluasi belajar itu seperti model tes TOEFL yang dapat diselenggarakan oleh badan-badan mandiri yang kredibel, bukan justru dalam bentuk UN seperti yang dipaksakan oleh pemerintah.
Ketiga, masalah anggaran pendidikan yang problematik. UU Sisdiknas Pasal 49 Ayat 1 menyebutkan, ”Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimum 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.
Namun, dalam realitasnya, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2008, anggaran 20 persen termasuk gaji guru dan dosen serta pendidikan kedinasan. Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bunyi Ayat 1 Pasal 49 tidak ada maknanya lagi.
Keempat, menghapus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). RSBI dan SBI telah menimbulkan persoalan sosial baru karena telah menutup akses masyarakat secara umum terhadap layanan pendidikan yang bermutu serta telah menciptakan kastanisasi sekolah menjadi beberapa kasta.
Ini tentu menimbulkan persoalan tersendiri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kementerian Pendidikan Nasional sekarang juga tengah mengevaluasi keberadaan RSBI/SBI, tetapi tampaknya hanya dari aspek teknis belaka. Padahal, persoalan RSBI/SBI lebih bersifat ideologis-konstitusional. Keberadaan RSBI/SBI merupakan turunan dari UU Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3 yang mengamanatkan agar setiap daerah menyelenggarakan minimum satu satuan pendidikan bertaraf internasional.
Mengingat implementasi pasal itu dalam bentuk RSBI/SBI, menimbulkan persoalan serius (konstitusional), pasal tersebut perlu dihilangkan.
Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”, sementara pengembangan RSBI/SBI sekarang tanpa disadari menciptakan lebih dari satu sistem pendidikan nasional, bahkan menciptakan kastanisasi sekolah. UU Sisdiknas tidak boleh menabrak konstitusi.
Implementasi dari Ayat 3 Pasal 50 dalam bentuk RSBI/SBI juga bertentangan dengan Ayat 1 Pasal 5 UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu serta Ayat 1 Pasal 11 tentang layanan pendidikan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Sementara itu, yang bisa bersekolah di RSBI/SBI hanya golongan mampu karena biayanya mahal.
Kelima, usia masuk sekolah dasar (SD). Persoalan usia masuk SD selalu menjadi ramai setiap tahun ajaran baru karena banyak anak di bawah usia enam tahun ingin masuk SD. Di sisi lain, para guru secara formal selalu terpaku pada UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa ”setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar” (Pasal 34 Ayat 1).
Artinya, batas minimum masuk SD adalah enam tahun. Jika kurang dari enam tahun, meskipun anak sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung, tetap tidak bisa diterima. Di lapangan, usia masuk SD ini menjadi praktik jual beli kursi—terlebih di SD negeri favorit—tarifnya mencapai jutaan rupiah.
Batas minimum usia masuk SD enam tahun itu memang perlu dikaji lagi. Pada masa lalu (sebelum dekade 1980-an), ketika gizi keluarga belum baik, pendidikan orangtua masih rendah, kesadaran bersekolah rendah, baru ada TVRI, media massa dan sarana komunikasi masih terbatas, tentu saja perkembangan fisik dan mental anak pun lambat.
Namun, pascadekade 1980-an (apalagi sekarang), ketika gizi keluarga bagus, orangtua terdidik dan sadar akan pendidikan, sarana komunikasi dan fasilitas pendidikan lengkap, serta banyak media cetak maupun elektronik, perkembangan fisik dan mental anak pun mengalami percepatan.
Anak berusia lima tahun tanpa paksaan sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung; mental mereka juga sudah matang. Perkembangan fisik dan mental anak seperti itu perlu diakomodasi dalam perundang-undangan pendidikan nasional sehingga tidak dijadikan sebagai obyek jual beli usia.
Keenam, masuknya pendidikan asing. Hal itu diatur dalam Pasal 65 Ayat 1-3, baik untuk pendidikan dasar maupun perguruan tinggi. Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu diatur dalam Pasal 65 Ayat 1-3. Pasal ini dinilai terlalu liberal karena Amerika Serikat saja yang dikenal liberal sangat melindungi pendidikan bangsanya, sebaliknya kita justru mengundang asing untuk turut mendidik bangsa kita. Keberadaan Pasal 65 ini sebetulnya tidak perlu.
Persoalan lain yang cukup krusial dan perlu dirumuskan kembali pasalnya adalah masalah pendanaan pendidikan mengingat pasal satu dan lainnya saling bertentangan. Pasal 43 Ayat 2-3 mengatur masalah komitmen pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, tetapi Pasal 46 Ayat 1 jelas sekali memberikan beban tanggung jawab kepada masyarakat untuk menanggung pendanaan pendidikan.
Masih banyak lagi pasal yang perlu direvisi agar tidak menimbulkan keruwetan di lapangan. Semoga para anggota Komisi X DPR periode 2009-2014 punya semangat untuk melakukan reformasi perundang-undangan pendidikan nasional.

A Distressing Silent of SBY

Saya tidak tahu bagaimana pandangan dari banyak orang. Tapi kok rasanya Pak SBY cenderung membisu dalam persoalan KPK. Artinya ada momen di mana Pak SBy cukup vokal. Misalnya waktu nama baiknya diserang, yaitu isu dia telah menikah sebelum dengan bu Ani, isu kritik soal kebijakannya oleh capres lain, isu terorisme dan isu lainnya. Tapi dalam masalah KPK kelihatannya begitu sunyi senyap.

Apapun yang menjadi alasan sebenarnya, tetapi tanpa sadar Pak SBY mengirimkan pesan bahwa dalam masalah KPK ini:

1. Polisi tidak melakukan kekeliruan apapun dalam penetapan status dua komisioner KPK

2. Presiden lebih suka mengganti anggota KPK daripada mempercepat proses hukum para komisioner untuk jelas statusnya

3. SBY lebih suka memutuskan sendiri siapa yang menjadi anggota KPK daripada membiarkan proses melalui panitia seleksi dan DPR melakukan pemilihan

4. Presiden tidak memberikan usaha yang berarti untuk menolong KPK mempertahankan kewibawaannya, khususnya terhadap Polri. Beda sekali dengan dulu waktu ada masalah dengan Kehakiman Agung.

5. SBY belum menunjukkan secara proaktif usaha pemberantasan korupsi harus dimuluskan dan diberi ruang gerak yang seluas-luasnya. Semoga ini tidak berarti mempersempit ruang gerak dari pemberantasan korupsi.

SBY yang silent, bagi saya a distressing attitude. Mohon pak SBY melakukan sesuatu untuk mengirimkan pesan yang lebih keras tentang komitmenya dalam pemberantasan korupsi.


Denni B. Saragih

"False Negative" dalam UN

"False Negative" dalam UN
Sumber: Kompas Sabtu, 2 Mei 2009 | 04:15  Wib

Dalam sebuah talk- show tentang ujian nasional di radio Elshinta (14/4), ada pertanyaan kepada Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Prof Dr Mungin Eddy Wibowo tentang kemungkinan memeriksa kembali lembar jawaban ujian nasional bila diduga ada kejanggalan pada hasil yang diperoleh.

Tahun lalu anak si penanya itu dinyatakan tidak lulus karena nilai yang dicapai pada salah satu mata pelajaran yang di-UN-kan kurang dari 3,0. Padahal, mata pelajaran lain mendapat nilai di atas 9,0. Penanya itu merasa ada kejanggalan pada hasil ujian mengingat prestasi akademis anaknya sebelumnya termasuk tinggi. Upaya untuk mempertanyakan hasil ujian ke dinas pendidikan tidak membuahkan hasil.

Sayang Ketua BSNP tidak menjawab pertanyaan kemungkinan memeriksa kembali lembar jawaban siswa bila diduga ada kejanggalan. Yang dikemukakan adalah berbagai kemungkinan yang dapat memengaruhi hasil ujian, misalnya anak sakit atau memiliki kemampuan tinggi untuk mata pelajaran yang lulus tetapi lemah pada mata pelajaran yang tidak lulus.

Sebenarnya, pertanyaan itu merupakan hal amat penting dalam UN yang dikategorikan sebagai high stakes testing, yaitu penyelenggaraan ujian yang berdampak besar terhadap masa depan siswa.

”False negative”-”false positive”

Dalam pengambilan keputusan untuk meluluskan atau tidak,

selalu ada peluang terjadinya kesalahan. False negative terjadi bila peserta yang sebenarnya memiliki kemampuan di atas standar kelulusan dinyatakan tidak lulus. Sementara itu, false positive terjadi bila peserta yang memiliki kemampuan di bawah standar kelulusan dinyatakan lulus.

Nilai yang diperoleh dalam pengukuran seperti UN sering disalahpahami sebagai nilai sebenarnya (true score) dari prestasi belajar siswa. Sebenarnya, true score ini tidak akan pernah bisa dipastikan karena pengukuran, terlebih terhadap variabel laten, seperti prestasi belajar, selalu memiliki kesalahan pengukuran yang dikenal sebagai kesalahan baku pengukuran (standard error of measurement). Besarnya kesalahan baku pengukuran ini bergantung pada keandalan alat ukur yang digunakan yang mencerminkan kestabilan dan kekonsistenan dalam pengukuran. Sayang masyarakat tidak memiliki informasi seputar kualitas teknis paket-paket soal UN.

Meski true score ini tidak pernah diketahui nilainya, kita dapat menentukan kisaran true score pada tingkat kepercayaan tertentu. Contohnya, asumsikan kesalahan baku pengukuran pada UN adalah sebesar 0,2 (catatan: saya tidak mendapat informasi tentang besarnya kesalahan baku pengukuran, baik dari website Departemen Pendidikan Nasional maupun BSNP).

Jika seorang siswa mendapat nilai 5,4 untuk suatu mata pelajaran, kita memiliki keyakinan 95 persen bahwa true score siswa itu ada pada kisaran 5,4 sekitar 1,96 (0,2) > 5,4 sekitar 0,392, yaitu antara 5,01 dan 5,79 (1,96 adalah skor baku untuk tingkat kepercayaan 95 persen, sedangkan 0,392 merupakan margin of error).

Beberapa kesempatan

Dengan standar kelulusan 5,5, siswa yang mendapat nilai 5,4 akan dinyatakan tidak lulus untuk mata pelajaran bersangkutan. Meski demikian, perlu diingat, true score siswa itu mungkin lebih tinggi dari 5,5 sehingga terjadilah false negative. Karena itu, untuk mengurangi terjadinya false negative, perlu diberikan beberapa kali kesempatan kepada siswa yang gagal untuk menunjukkan prestasi belajar mereka.

Benar bahwa memberikan beberapa kali kesempatan dapat meningkatkan false positive, yaitu meluluskan siswa yang sebenarnya memiliki true score di ba- wah standar kelulusan. Namun, saya memandang false negative lebih berbahaya karena siswa yang seharusnya lulus kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau mencari pekerjaan bagi lulusan SMA/SMK, belum lagi menimbang aneka tekanan psikologis yang dialami siswa maupun biaya yang harus dikeluarkan.

Pelaksanaan UN yang hanya satu kali, itu pun dilakukan pada tahun terakhir masa belajar, sebenarnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap standar pelaksanaan high stakes testing. Negara-negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan ujian kelulusan bagi siswa SMA dan sederajat memberikan beberapa kali kesempatan kepada siswa yang gagal karena ujian tidak dilaksanakan pada tahun terakhir masa studi.

Mekanisme ”appeal”

Selain kesalahan pengambilan keputusan yang disebabkan kesalahan baku pengukuran, tidak tertutup kemungkinan adanya kontribusi sumber-sumber kesalahan lain yang bukan berasal dari pengukuran itu sendiri, misalnya dalam pemindaian LJUN atau dalam tahapan lainnya.

Upaya standardisasi yang dilakukan pemerintah akan tercederai bila kemungkinan terjadinya kesalahan tidak diantisipasi dan ditindaklanjuti dengan sungguh-sungguh. Salah satu caranya adalah dengan memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan appeal (peninjauan kembali) bila diduga ada kejanggalan- kejanggalan agar tidak semakin banyak siswa yang menjadi korban false negative. False negative ini dapat diasosiasikan dengan menghukum orang yang sebenarnya tidak bersalah. Mekanisme ini harus sama di seluruh Tanah Air dan diinformasikan secara jelas kepada masyarakat.

Sementara asumsi bahwa pelaksanaan UN dapat meningkatkan prestasi siswa masih perlu diuji, aspek-aspek teknis pelaksanaan UN perlu terus dievaluasi agar tidak ada siswa yang dirugikan. Akuntabilitas pelaksanaan UN, hal yang ditekankan berulang-ulang oleh Ketua BSNP saat talkshow, menjadi kunci.

Elin Driana Salah Seorang Koordinator Education Forum

Cukup Sudah UN by Abduhzen (Ketua Ed Forum)

Dalam praktiknya, UN telah memosisikan para guru dan kepala sekolah pada ruang
dilematis. Pada satu sisi, sebagai jajaran paling ujung dari rantai panjang
birokrasi pendidikan, mereka sering dipaksa mencapai target kelulusan tertentu
dengan standar yang ditetapkan. Di sisi lain, mereka menghadapi kenyataan
tingkat kemampuan murid-muridnya yang masih rendah. Situasi ini kemudian
menggiring mereka melakukan tindakan "penyelamatan" yang kadang kala melawan
akal sehat dan menentang hati nurani.

Ada dua berita menarik menyertai penyelenggaraan UN tahun ini. Pertama,
penangkapan enam kepala SMA dan seorang Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas
Pendidikan Bengkulu Selatan yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka karena
tertangkap tangan ketika bersama menjawab soal cadangan UN untuk disebarkan ke
peserta UN, murid-murid mereka. Kedua, ancaman Wali Kota Bekasi untuk
memberhentikan kepala sekolah jika di sekolahnya ada murid yang tak lulus UN.

Selama enam tahun penyelenggaraan UN, rasanya tak pernah sepi dari peristiwa
kebocoran atau upaya-upaya membocorkan soal. Ironisnya, praktik curang tersebut
kebanyakan melibatkan oknum guru. Mengapa guru kita merelakan dirinya melakukan
praktik tak terpuji itu? Sudah begitu burukkah mentalitas dan moralitas para
guru kita?

UN direspons oleh berbagai kalangan terkait tidaklah secara positif sebagai
tantangan, melainkan dirasakan sebagai ancaman yang menakutkan. Pemerintah
daerah dan Dinas Pendidikannya, kepala sekolah dan guru, orang tua dan anaknya
(para murid) dihantui kegagalan dan kesia-siaan atas jerih payah mereka selama
bertahun-tahun. Kekhawatiran timbul karena UN mengandalkan hanya pada single
score dan tidak menyediakan ujian ulangan sehingga peluang kegagalan ternganga
bagi siapa saja, bahkan bagi para murid paling pandai pun. Ketegangan dan rasa
takut menjadi sempurna ketika belakangan Depdiknas mendramatisasi kegiatan
akademik ini dengan melibatkan aparat keamanan secara vulgar.

Sementara itu, jajaran birokrasi penanggung jawab pendidikan menginginkan UN
selalu tampak sukses di mata atasan dan masyarakatnya. Para guru beserta kepala
sekolah suka atau tidak suka diposisikan menjadi ujung tombak operasi kesuksesan
tersebut. Padahal, sebagai orang yang setiap hari bergelut dengan realitas,
mereka sangat tahu kesiapan sekolah dan kemampuan para muridnya. Pada posisi
dilematis seperti inilah sebagian besar guru dan kepala sekolah terpaksa
melalukan "penyelamatan" melalui beragam modus operandi yang dinilai berbagai
kalangan sebagai tak terpuji. Disebut "penyelamatan" karena sejatinya kegiatan
tersebut semata untuk membantu murid-muridnya, menyelamatkan sekolah, dan
menyelamatkan karier. Dan itu merupakan "keniscayaan manusiawi" akibat kebijakan
nasional yang keliru.

Sangatlah tidak bijaksana ketika menyalahkan para guru dan kepala sekolah. Kita
juga mengutuki faktor penyebab kecurangan mereka. Kita perlu mengingat kembali
bahwa pemerintah, Mendiknas, dan jajarannya sudah dua kali diputus bersalah oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena
kebijakan UN melanggar hak asasi manusia warga negaranya. Ini hendaknya kita
refleksikan bersama bahwa secara hukum pemerintah telah melakukan dua kesalahan,
membuat kebijakan yang melanggar, dan kebijakan itu menyebabkan orang (guru dan
kepala sekolah) melanggar hukum. Oleh karena itu, ketika akan menjatuhkan
hukuman terhadap guru yang dianggap melanggar dalam kasus UN, perlu pula
dipertimbangkan sanksi terhadap pihak yang menjadi penyebabnya serta kebijakan
UN itu sendiri.

UN bukanlah persoalan hukum semata. Ia adalah bagian dari proses pendidikan yang
oleh para pakar sejak awal dianggap melanggar prinsip-prinsip pedagogis dan
mendangkalkan makna pendidikan. Kini, setelah enam tahun diselenggarakan, budaya
belajar keras dan kualitas pembelajaran belum menunjukkan tanda-tanda akan
meningkat. Demikian pula pemetaan mutu yang juga sering dijadikan alasan UN,
tidak jelas apakah ada dan menjadi dasar kebijakan untuk perbaikan. Yang semakin
nyata justru adalah dampak buruknya.

Jika UN terus dilangsungkan seperti sekarang, ada dua dampak buruk yang akan
muncul dalam dunia persekolahan kita, yaitu meningkatnya budaya malas belajar
dan tertanamnya mentalitas korup.

Menumbuhkan tradisi belajar pada murid merupakan inti dan hakikat pendidikan.
Dengan memfokuskan segenap aktivitas pembelajaran untuk menghadapi ujian,
kegiatan UN telah memberangus kesempatan tumbuhnya rasa cinta belajar dan
mekarnya fungsi nalar. Semangat belajar itu semakin melemah ketika para murid
menyaksikan dan terlibat konspirasi yang mengajarkan bahwa banyak "jalan tikus"
menuju lulus.

Konspirasi guru dan murid di sekolah adalah "praktikum diam" yang menanamkan
karakter buruk kepada anak-anak. Pandangan luhur terhadap martabat guru dan
lembaga persekolahan secara nyata dinegasikan sembari mengafirmasi nilai-nilai
korup yang merebak di tengah masyarakat. Praktik UN telah menjadi seperti hidden
curriculum pendidikan mental korup (corrupted mind).

Oleh karena itu, dengan UN lembaga persekolahan selain tidak mencerdaskan, juga
mengakselerasi kehancuran mentalitas bangsa ini. Cukup sudah UN!

Pemberantasan Korupsi

Menggempur Korupsi dari Pelbagai Sisi
Oleh Victor Silaen

Batin kita mungkin sudah teramat lelah mengamati sepak-terjang para
koruptor dan dahsyatnya praktik korupsi yang menyebabkan Indonesia hingga kini
masih dikategorikan sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Padahal,
upaya-upaya memerangi korupsi selama ini telah gencar dilakukan oleh
institusi-institusi penegak hukum negara, yang didukung pula oleh pelbagai
lembaga keumatan dan organisasi non-pemerintah yang peduli terhadap ”penyakit
akut” yang terus-menerus menggerogoti sendi-sendi negara ini. Pertanyaannya,
adakah alternatif lain yang harus kita lakukan? Harus disadari bahwa korupsi
tergolong sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga
upaya-upaya memeranginya harus luar biasa pula.
Terkait itu Prof Dr. JE Sahetapy, pakar hukum pidana dari Universitas
Airlangga, Surabaya, mengusulkan perlunya dibuat ketentuan hukum tentang
”pembuktian terbalik” dalam rangka memerangi korupsi (Suara Pembaruan,
17-3-2007). Bukan gagasan yang baru sebenarnya, tapi kita patut mendukungnya
agar gemanya terdengar lebih luas lagi. Sehingga, mudah-mudahan dalam waktu yang
tidak terlalu lama, gagasan ini berkembang menjadi isu politik hingga akhirnya
diagendakan untuk dibahas di DPR. Kalaupun belum berbentuk undang-undang,
menurut Sahetapy, setidaknya Mahkamah Agung dapat segera melakukan asas
pembuktian terbalik ini. ”MA memberlakukan asas ini, tentu melalui
yurisprudensi,” kata dia.
Memang, korupsi yang sudah menjadi wabah akut di negara kleptokrasi --
negara yang dalam praktik penyelenggaraan pemerintahannya ditandai oleh
keserakahan, ketamakan, dan korupsi yang merajalela (Amich Alhumami, 2005) – ini
harus digempur dari pelbagai sisi. Artinya, agar lebih efektif, kita tak bisa
hanya menggantungkan harapan pada lembaga-lembaga penegak hukum yang selama ini
sudah berperan. Untuk itulah perangkat hukum pun harus dilengkapi. ”Saya pikir
dengan kondisi Indonesia yang sudah hancur karena korupsi, maka asas ini sangat
relevan diberlakukan,” kata Sahetapy.
Ia benar. Sebab, bukankah kita kerap terheran-heran menyaksikan begitu
banyaknya aparat pemerintah maupun pejabat negara yang memiliki kekayaan tak
ubahnya pengusaha papan atas? Berapakah gaji mereka per bulan, sehingga harta
mereka begitu berlimpah? Menurut Sahetapy, jika kelak asas pembuktian terbalik
ini diberlakukan, maka orang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi
diwajibkan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi. Untuk itu tentu
harus dengan bukti hukum yang kuat. ”Saya bersama anggota Komisi Hukum Nasional
sudah bertemu Presiden agar asas pembuktian terbalik ini segera dimasukkan ke
dalam KUHAP,” ujarnya.
Kalau begitu, sekarang kita tinggal menunggu good will dan political will
dari Presiden Yudhoyono. Kita boleh optimistik dalam hal ini, sebab bukankah
sejak awal Yudhoyono telah bertekad kuat untuk memerangi korupsi? Bukankah ia
pernah berjanji di masa kampanyenya sebagai calon presiden dulu, untuk bekerja
siang-malam dan memimpin langsung di garda depan dalam rangka memberantas
korupsi?
Sebagai kepala negara, tak ada salahnya Yudhoyono mengacu pada
pengalaman memerangi korupsi di negara-negara tetangga seperti Malaysia,
Singapura, dan Hongkong (Cina), yang telah melaksanakan undang-undang khusus
yang mengatur asas pembuktian terbalik itu. Di ketiga negara ini, umumnya orang
takut melakukan korupsi karena sulit sekali menghindarkan diri dari penyidikan
jika benar-benar melakukan korupsi seperti menerima atau memberi suap. Karena si
tersangkalah – bukan pihak kejaksaan -- yang harus membuktikan bahwa dirinya
tidak melakukan tindakan korupsi sebagaimana yang disangkakan kepadanya.
Selain itu, ada beberapa alternatif lainnya. Pertama, mengampanyekan
pernyataan-pernyataan bersubstansi antikorupsi seluas-luasnya (sebagaimana hal
itu telah kita lakukan dalam rangka memerangi narkoba), misalnya dengan memasang
plakat-plakat, spanduk-spanduk, stiker-stiker, dan yang sejenisnya, di
ruang-ruang publik di pelbagai pelosok negeri ini, termasuk di kantor-kantor
pemerintah, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Kedua, menciptakan efek gentar (detterent effect) di masyarakat dengan
cara menayangkan wajah para tersangka koruptor di sejumlah stasiun televisi
pemerintah maupun swasta secara berulang-ulang. Dengan cara itu dimungkinkan
tercapainya dua tujuan: 1) masyarakat dapat berpartisipasi memberikan
informasi-informasi yang terkait dengan para tersangka koruptor itu; 2)
orang-orang yang berniat korupsi niscaya berpikir seribu kali sebelum melakukan
kejahatan itu.
Ketiga, mengimbau masyarakat untuk tidak menaruh respek kepada para
koruptor. Itulah resep yang disampaikan Pascal Couchepin, Konsuler Federal
sekaligus Menteri Dalam Negeri Swiss (Kompas, 29-10-2005). Di negara yang
dikategorikan Transparency International sebagai “bersih dari korupsi” itu,
begitu ada yang korup langsung dimusuhi. Kalau dia pegawai negeri, maka akan
dibenci seluruh rakyat. Untuk menjadikan sebuah negara bersih dari korupsi,
menurut Couchepin, membutuhkan waktu. ”Akan tetapi, suatu hal yang utama adalah
jangan pernah berkompromi menghadapi korupsi dan jadikan korupsi sebagai musuh
bersama,” ujarnya. ”Di Rusia tindakan korupsi kini banyak berkurang, karena para
koruptor langsung dikirim ke Siberia,” katanya lagi.
Senada dengan itu, Mallam Nuhu Ribadu, Ketua Eksekutif Economic and
Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria berkata: “Kita punya masalah sama:
kita cenderung memberi hormat kepada orang-orang yang justru tidak layak
dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamu punya
kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri
karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada toleransi
bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkap
para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect” (Tempo, 16-9-2007).
Pesan Couchepin dan Ribadu sangatlah jelas. Namun, mudahkah menerapkannya
di Indonesia, itu yang belum jelas. Sebab, bukankah umumnya kita cenderung
menghormati mereka yang kaya-raya, tak hirau kekayaan itu diperoleh dengan
cara-cara yang melawan hukum? Perlu disadari bahwa penghormatan kepada mereka
yang kaya-raya, khususnya yang menjadi hartawan karena korupsi, sebenarnya
semakin mengukuhkan pandangan bahwa korupsi adalah tindakan yang biasa di zaman
edan ini. Atas dasar itulah maka kita pun perlu belajar untuk tidak silau
memandang kekayaan.
Akhirnya, seraya terus berjuang menggempur korupsi dari pelbagai sisi,
ingatlah kalimat bijak Oscar Arias Sanchez, Presiden Costa Rica 1986-1990,
pemenang hadiah Nobel Perdamaian 1987 dan salah seorang anggota pendiri dan
anggota dewan penasihat Transparency International: “Kita sekali-kali jangan
putus-asa dalam upaya menghambat kanker korupsi. Memang, korupsi telah mendunia,
tetapi gelombang pasang tuntutan masyarakat agar diwujudkannya pemerintahan yang
bersih juga telah mendunia.”


* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.