Sabtu, 19 Maret 2011

Filosofi Pendidikan dan kenyataan yang terjadi!!

Oleh; Resita Lubis, Spd

1.   Kenyataan di balik Konstitusi Pendidikan

Beragam masalah terjadi saat Penerimaan Siswa Baru (PSB), seperti sistem pendaftaran rumit, administrasi berbelit hingga biaya mahal. Hal-hal ini jadi beban bagi masyarakat Indonesia. Jutaan orang tua siswa mengeluh tak mampu memenuhi kebutuhan anaknya – uang pendaftaran, uang pembangunan, uang sekolah, dan biaya lain yang melonjak tinggi. Banyak anak terpaksa tidak melanjutkan pendidikan  karena orang tua tak mampu. Sebuah pertanyaan melintas, akan kemanakah mereka?

Kisah tragis dunia pendidikan juga dialami seorang gadis di Tangerang. Ia terpaksa merampok dan membunuh seorang pengusaha tua. Menghabisi nyawa dan mengambil mobilnya. Hasil perampokan untuk melunasi pendaftaran dan biaya sang adik yang sedang PSB. Gadis ini pun harus mendekam di penjara.

Banyak kisah terjadi dari tahun ke tahun. Wajar jika banyak anak putus sekolah dan buta huruf karena tidak mengecap pendidikan. Ditambah permasalahan mutu pendidikan negara kita jauh dari harapan. Dunia pendidikan kotor! Pertanyaannya, mungkinkah praktek pendidikan yang kotor melahirkan bangsa yang bersih? Mungkinkah pendidikan nasional bersih dari perilaku tidak bermoral? Tidak mungkin! Masalah tersebut bukanlah  kasuistik, tetapi sistemik.

Timbulnya masalah yang mempermalukan Indonesia di dunia internasional bukan gejala tiba-tiba, namun hasil rangkaian kebijakan dan pengelolaan yang salah. Kebijakan pendidikan yang salah sejak semula, kebijakan kerdil, mandul, dan cukup lama. Birokrasi pendidikan, guru kehilangan integritas, dan bobroknya jati diri pendidik juga berkontribusi bagi permasalahan ini.
UUD 1945 BAB III, Pasal 31 ayat 3
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang”
Undang-Undang RI BAB III, Pasal 3 No.20 tahun 2003
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab

Keduanya menunjukkan kesempurnaan amanah konstitusi mengenai pendidikan. Sayangnya, pelaksanaan terbalik sama sekali. Terjadi pembodohan dan pembohongan, beberapa pemimpin tidak peduli, cuek pada apa yang terjadi di lapangan, tidak visioner, tidak jujur, dan tidak berani. Dampaknya bisa kita lihat seperti yang terjadi di bangsa ini.

Perubahan bisa terjadi jika hakekat dan filosofi pendidikan berbangsa dipahami dengan benar, merombak paradigma pendidikan yang lebih visioner dan mengelolanya secara professional. Kita berharap kebijakan penddidikan akan semakin baik.

2.   Pendidikan

Kata Inggris educate berasal dari Kata latin Educere (e-ducere). Prefiks ‘e’ berarti keluar dan verba ducere berarti memimpin, menarik, atau membawa. Educere dapat diartikan “menarik atau membawa keluar”. Tugas guru tidak hanya mengajar( to teach), tetapi juga mendidik ( to educate ), yaitu menarik atau membawa ke luar potensi kebaikan dalam diri siswa, untuk dikembangkan menjadi moralitas dan perilaku insan yang berpegang pada nilai-nilai luhur.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas No.20 tahun 2003)

Manusia adalah mahluk individu dan mahluk  sosial,  baik pendidik maupun peserta didik. Oleh sebab itu, pendidikan harus mengupayakan pemerkayaan hidup manusia secara utuh, baik dari dimensi intelek, sosial, maupun rohani. Inilah tujuan tertinggi dari pendidikan. Pendidik harus berusaha membangun manusia terdidik yang tidak saja mempunyai pengetahuan tentang, tetapi juga mempunyai pengertian luas mengenai landasan atau asumsi dasar pengetahuannya ( understanding of the reason why of things )

Pendidikan adalah sebuah jalan memanusiakan manusia dalam arti hominisasi dan humanisasi dan berlangsung seumur hidup.  Artinya, membina individu menjadi  mandiri, bertumbuh dan berkembang secara sehat(hominisasi). Pendidikan juga menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam diri individu terhadap sesama dalam arti berbudaya, serta memiliki andil dalam memperkaya hidup orang lain (humanisasi).

3.   Filosofi Pendidikan

 Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas, ini merupakan tujuan akhir dari upaya humanisasi yang berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dari situasi-situasi batas yang menindas di luar kehendaknya. Kaum tertindas harus memerdekakan dan membebaskan diri mereka sendiri dari penindasan yang tidak manusia sekaligus membebaskan kaum penindas dari penjara hati nurani yang tidak jujur melakukan penindasan (Freire, Politik Pendidikan, 2002)
Freire merumuskan gagasan hakekat pendidikan dalam dimensi yang baru dan pembaharu. Pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan diri sendiri. Pengenalan tidak hanya bersifat obyektif atau subyektif, tetapi mencakup keduanya. Kebutuhan objektif untuk mengubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subjektif mengenali keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi secara objektif. Karena itu, pendidikan  harus melibatkan tiga unsur yang saling berhubungan: pengajar, pelajar/anak didik, dan realitas dunia. Pengajar dan pelajar adalah subyek yang sadar, sedangkan realitas dunia adalah subyek yang disadari.
           
Pendidikan Indonesia tidak demikian. Jika diibaratkan, sebuah ”bank”. Pelajar diberi ilmu agar ia mendatangkan hasil berlipat. Anak didik dijadikan objek investasi dan deposito potensial. Depositor dan investornya adalah guru yang mewakili lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa.

Sederhananya,  ada 10 antagonisme pendidikan “gaya bank” menurut Paulo  Freire, antara lain: (1) Guru mengajar, murid belajar,( 2) Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa, (3)Guru berpikir, murid dipikirkan, (4) Guru bicara, murid mendengarkan, (5) Guru mengatur, murid di atur, (6) Guru memaksakan pilihannya, murid menuruti, (7) Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai tindakan guru, (8) Guru memilih yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri, (9) Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid, dan (10) Guru adalah subjek proses belajar, murid objeknya.

Demikian praktek pendidikan  di Indonesia. Hubungan guru dan siswa sangat jauh. Siswa di pihak yang salah dan lemah, sedangkan guru selalu di posisi aman dan sempurna. Akibatnya, tidak ada ruang menciptakan relasi yang baik antara guru dan siswa, sehingga proses pembelajaran pun tidak berlangsung dengan baik.

4.   Isu dan Masalah Lain Pendidikan di Indonesia
a.   Industri pendidikan
Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah ikut menyuburkan pragmatisme pendidikan dengan menjadikan pendidikan sebagai sebuah usaha yang bergantung sepenuhnya pada modal usaha. Pemerintah tidak lagi menjalankan tanggung jawab menyelenggarakan satu pendidikan nasional yang merata bagi seluruh warga. Pendidikan yang baik justru dijadikan komoditas untuk tujuan komersialisasi. Praktik komersialisasi ini adalah diskriminasi pendidikan dan bertentangan dengan ideologi UUD 45, yakni pendidikan yang memihak rakyat kecil.
Tanda-tanda pendidikan menjadi sebuah bagian industri padat modal dapat dilihat dari promosi gencar pendidikan berbasis IT, sertifikasi ISO, menjamurnya Sekolah Bertaraf Internasional, slogan world class university, dan privatisasi perguruan tinggi negeri.
b.   Akses pendidikan yang tidak merata
Beberapa daerah fasilitas tidak layak, seperti gedung rusak dan minimnya ketersediaan. Terjadi ketimpangan fasilitas sekolah di kota dan di desa/daerah terpencil, sekolah negeri dan swasta, atau SBI dengan SSN.
c.   Masalah guru
Kesejahteraan, kualitas, perlindungan, relasi, Otoritas, sertifikasi, dan distribusi.
e. Dana
Anggaran pendidikan 20% yang berlaku sejak tahun 2009 belum menjadi solusi. Minimnya jumlah yang diterima dan penggunannya yang tidak tepat sasaran membuat dana BOS justru menjadi dilema bagi sekolah-sekolah tertentu karena adanya perbedaan asumsi pemerintah dan masyarakat mengenai sekolah gratis.
f. Kebijakan yang tidak memihak kepentingan rakyat tetapi hanya kelompok atau golongan tertentu.
g. Kurikulum yang sering ganti, tidak menentu, dan tidak mementingkan pembelajaran anak didik serta tujuan pembelajaran di sekolah maupun di daerah.
h.  Sistem birokrasi dan administrasi  pendidikan yang rumit dan sulit.
i.   Praktik Ujian Nasional
Pemerintah menyimpulkan bahwa Ujian Nasional memupuk etos kerja dan meningkatkan mutu. Hal Ini merupakan penyederhanaan yang berlebihan. UN justru mengakibatkan menjamurnya bimbingan test yang menyiapkan siswa lulus UN, bukan lagi bimbingan belajar yang menghasilkan manusia pembelajar. Untuk UN, negara kita harus mengeluarkan biaya milliaran rupiah untuk hasil yang nihil.

5.   Peranan dalam Pendidikan

Mengapa orang Kristen terpanggil berpartisipasi dalam pendidikan di Indonesia? Jika ingin menjadi garam bagi masyarakat, inilah salah satu bidang strategis yang penting digumuli karena terkait erat dengan masalah kebangkitan bangsa. Di situlah terletak akar ketertinggalan, kebodohan, ketidakmandirian, dan kemiskinan bangsa kita.

Di Indonesia, guru terlibat nyata di sekolah. Kita memimpikan hadir guru yang melindungi dan mendorong anak berkembang bahagia, cerdas, dan berkarakter. Melindungi dan menuntun mereka melewati proses hidup yang kreatif, bukan hanya sebagai penyelenggara pengetahuan yang mekanis dan membosankan; guru yang bersama pemimpin sekolah dan rekan pendidik lainnya menjadi orangtua yang bijak dan penuh murah hati mengatur, menyediakan proses belajar yang sehat dan menyenangkan; guru yang mengabdi  dengan memahami secara  jelas filosofi pendidikan, didorong oleh cinta kasih kepada Tuhan dan sesama manusia; guru yang terbeban melihat keterpurukan bangsa dan mau mempersembahkan diri membawa kasih dan pemulihan bangsa melalui tugas profesinya, mentransfer ilmu pengetahuan yang ilmiah dan demokratis, menjadi arsitek jiwa, membentuk kepribadian anak kelak menjadi pemimpin di negara ini.

Menjadi guru yang demikian, mahasiswa harus mengejar ilmu yang ilmiah, melakukan kegerakan dan memberi pengaruh terang kebenaran di keluarga, di kampus, dan dimanapun. Kita memimpikan dari pelayanan mahasiswa ada yang ambil bagian sebagai pengambil kebijakan dalam pengelolan pendidikan di negara ini; sebagai pakar/pemikir yang memberikan solusi bagi  setiap masalah; sebagai pelatih/trainer/instruktur guru-guru; sebagai pendukung dana.

Pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang membudayakan kebaikan, kebenaran dan karakter mulia, serta pendidikan yang mengindonesiakan, membangun kekuatan bangsa diatas keberagaman bangsa. Ketiga hal ini adalah fokus prioritas yang harus digumulkan dan dicapai. Pasti tidak gampang, tetapi ada keyakinan dan harapan jika kita ambil bagian  mengerjakannya.

Visi dan panggilan menjadi guru sangat tepat dan strategis. Menyatakan Injil melalui kelas dan sekolah ( Injil kasih karunia, Injil kebenaran dan keadilan, Injil kemerdekaan dan kemanusiaan); mengajarkan apa artinya menjadi manusia; memberantas kuasa jahat dari rasialisme, diskriminasi dan kemunafikan; memberantas kebodohan dan ketidakberdayaan; memulihkan yang terpinggirkan bagi Tuhan dan ibu pertiwi.

 “Berapa guru yang masih hidup?  Kita akan bangkit dan menjadi bangsa yang terhormat di  bumi. (Kaisar Hirohito, Sesaat setelah pengeboman Nagasaki dan Hiroshima)

Selamat berkarya bagi pendidikan Indonesia




Tidak ada komentar: